Langsung ke konten utama

Mengkroscek Sejarah Dari Kuncen Banten Girang



Setiap tempat dan daerah pasti memiliki sejarahnya masing-masing. Latar belakang, asal muasal, kultur masyarakat terdahulu merupakan hal-hal yang amat menarik untuk diulik dan dipelajari. Tetapi nyatanya, tidak semua sejarah yang kita baca di buku-buku pelajaran sekolah ataupun literatur lainnya merupakan fakta yang sebenarnya terjadi.
Termasuk di tanah Jawara ini, khususnya di daerah Banten Girang. Memiliki sejarah panjang yang sedikit orang lain ketahui. Bahkan ada beberapa yang salah menafsirkan sejarah yang ada.
Saya merasa beruntung sekali bertemu sosok seperti Abah Hasan. Beliau merupakan kuncen dari situs wisata Banten Girang. Sama seperti kuncen situs-situs wisata sejarah lainnya, Abah Hasan mendedikasikan hidupnya untuk menjaga situs Banten Girang tersebut.
Abah Hasan mulai menjadi kuncen situs Banten Girang sejak ia masih berusia 12 tahun. Lelaki yang memiliki nama asli Abdu Hasan ini meneruskan profesi turun temurun dari kakek dan neneknya sebagai kuncen Banten Girang. Sampai saat ini, ia masih tetap setia menjaga salah satu situs bersejarah yang ada di Provinsi Banten ini.
Yang membedakan Abah Hasan dengan kuncen-kuncen lainnya adalah semangat yang dimilikinya ketika sedang menceritakan sejarah Banten. Ketika ia bercerita, matanya seolah menerawang dan membayangkan setiap adegan sejarah yang dituturkannya. Ia bercerita seolah-olah ia ada disana pada saat itu.
Selain itu, ketika Abah Hasan sedang menceritakan sejarah kepada orang lain, ia selalu menyuguhkan buku-buku sejarah untuk dibaca oleh pengunjung. Dengan alasan, ia tidak mau kita tersesat akan pemahaman terhadap sejarah bila hanya mendengar dari satu sumber saja.
Hal ini saya rasakan ketika saya dan teman-teman baru saja membuka percakapan dengan Abah Hamid. Ketika saya bertanya mengenai latar belakang Banten Girang, ia justru malah menyodorkan beberapa tas yang berisi buku-buku sejarah yang ada kaitannya dengan Banten Girang.
“Dibaca aja dulu, biar abahnya leluasa. Biar nanti abahnya gak repot, soalnya biasanya abah dipandang sama tamu ini bukan orang yang paham sejarah. Maklum, saya mah cuma lulusan kelas 2 di Sekolah Rakyat ” ujar lelaki yang memiliki 2 orang putra ini.
Sembari kita membaca buku-buku tersebut, Abah Hasan mulai bercerita seputar sejarah Banten Girang yang ia pahami dan ketahui. Dimulai dari kisah Prabu Jaya Bupati yang merupakan pemimpin di Banten Girang yang pada masa itu merupakan kerajaan Tatar Sunda sampai kondisi Banten Girang saat ini.
Ia menjelaskan runtutan sejarah tersebut dengan sangat lancar dan fasih. Saya sendiri kagum ketika melihat Abah Hasan bercerita. Untuk orang-orang yang seusianya, Abah termasuk orang yang memiliki ingatan kuat. Setiap detail sejarah yang ia dapatkan secara turun temurun itu, mampu dijabarkannya dengan jelas.
Ada hal lain yang menurut saya menarik tentang Abah Hasan. Ia akan menjadi sedikit sentimentil ketika ada sejarawan atau penulis buku sejarah yang menjabarkan sejarah hanya berdasarkan penafsirannya semata. Yang pada akhirnya apa yang dijelaskan di buku tidak sesuai dengan realita yang terjadi pada masa itu.
Seperti hal nya pada saat ini, kebanyakan orang mengetahui bahwa Ibu Kota pemerintahan Banten dulunya berada di daerah Banten Lama, hal tersebut langsung dibantah oleh Abah Hasan. Ia menjelaskan bahwa ibu kota pemerintahan Banten bahkan pada masa itu sampai meliputi Jawa Barat adalah di Banten Girang.
“Dulu pemerintahan Banten itu luas, bahkan sampe se Jawa Barat loh. Ibu kotanya pemerintahannya dimana? Di Banten Girang. Tapi kok kenapa dibilangnya malah disana itu didirikan oleh Hassanudin pada tahun 1537 dinamakan Banten Lama. Padahal Banten Girang pada tahun 932 sudah menjadi ibu kota pemerintahan” ungkap Abah Kuncen.
Abah Hasan juga menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap gapura – gapura yang dipasang di setiap situs wisata sejarah yang ada di Banten. Karena menurut abah, bentuk dari gapura tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan sejarah Banten yang sebenarnya.
“Bukan begitu harusnya, Banten itu gak seperti itu. Gak setuju saya sebenarnya. Panjang kalau diceritakan” ucap abah saat saya tanyai makna dari gapura tersebut.
Abah Hasan juga sangat menyayangkan bahwa banyak informasi sejarah yang beredar, tetapi tak jarang informasi yang diberikan tersebut tidak tepat. Hingga akhirnya realita yang terjadi pada saat ini adalah banyak orang yang salah mengetahui dan memahami sejarah suatu hal.
Seperti hal nya ketika teman saya bertanya kepada Abah Hasan mengenai gua yang terdapat di Banten Girang. Informasi yang disajikan di Internet mengatakan bahwa gua tersebut diibaratkan seperti tempat teleportasi yang bisa menghubungkan kita langsung ke Mekah. Beda lagi dengan yang dituliskan di papan penanda gua. Di papan tersebut dijelaskan bahwa gua tersebut biasa digunakan untuk tempat pertapaan.
Mendengar informasi tersebut, Abah Hasan lantas tertawa. “Bagaimana bisa dari Banten langsung tembus ke Mekah? Gua itu dulunya dijadikan sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Tahanan–tahanan kerajaan ditempatkannya disitu” jelas Abah Hasan masih diselingi dengan sisa–sisa tawanya.
Abah Hasan sangat menyayangkan ketika pada saat ini banyak yang keliru memahami sejarah. banyak orang yang memahami sejarah dari hanya berdasarkan informasi yang didapatkan dari satu sumber saja. Beberapa orang mempelajari sejarah hanya berdasarkan dari beberapa literatur-literatur yang telah ada, tetapi enggan mengkroscek langsung ke lokasi dan bertanya kepada orang asli di daerah tersebut.
Bukan hanya itu saja, Abah Hasan juga nampak kecewa terhadap pihak pemerintah yang saat ini jarang memperhatikan situs-situs bersejarah yang ada. Alhasil, banyak situs-situs wisata bersejarah yang terbengkalai, fasilitas tidak memadai, tidak terawat, dan lain sebagainya sehingga mengurangi keindahan dan kenyamanannya. Jika sudah seperti itu, pengunjung pun akan semakin berkurang.
Hal tersebut juga terjadi pada situs Banten Girang. Abah Hasan mengaku bahwa situs Banten Girang ini sangat kurang sekali mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga agak kurang terawat. Hal itupun saya rasakan ketika saya menginjakkan kaki di situs Banten Girang tersebut.
Fasilitas-fasilitas yang ada seolah tidak terawat. Bukan karena tidak ada yang merawatnya, tetapi kendala yang dihadapi adalah minimnya dana yang digunakan untuk melakukan perawatan fasilitas. Sementara menurut Abah Hasan, selama ini pemerintah tidak memberikan dana untuk perawatan situs Banten Girang. Semua menggunakan dana pribadi milik Abah Hasan beserta keluarganya.
“Pernah waktu itu kita adain penggalian untuk mencari situs sejarah yang terpendam. Tapi pihak pemerintahan malah tidak ada yang hadir. Yang hadir malah dari semacam komunitas sejarah Internasional, mereka juga yang bantu membiayai” nada kecewa sedikit terdengar dari ucapannya.
Abah Hasan meupakan satu dari beberapa orang yang memang peduli terhadap sejarah bangsa Indonesia. Ia rela mendedikasikan dirinya baik berupa tenaga maupun materi untuk melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah nenek moyang kita. Sehingga generasi berikutnya masih dapat mengetahui dan melihat langsung bukti-bukti sejarah bangsanya sendiri.
Terima kasih Abah Hasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYO, KENALI FISIP-MU !

Brotherhood !!! Bagi sebagian besar mahasiswa Untirta pasti tidak asing lagi dengan kata tersebut. Kata ‘brotherhood’ merupakan jargon atau kata kunci dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta. Fakultas yang baru berusia 12 tahun ini merupakan fakultas termuda di Untirta. Fakultas orange ini didirikan pada tahun ajaran 2002/2003 yang diresmikan dengan surat keputusan nomor   124/0/2004 sesuai dengan SOTK. Sebelum dijuluki sebagai ‘Fakultas Orange’, FISIP Untirta dikenal sebagai fakultas yang identik dengan warna biru yang menyerupai warna biru telur asin, yang lebih cenderung berwarna abu-abu. Mengapa demikian? Karena FISIP Untirta merupakan fakultas yang bernuansa politik dan warna abu-abu dianggap sebagai simbolisasi dari politik, maka tercetuslah warna tersebut sebagai identitas dari FISIP Untirta. Namun penetapan warna tersebut sebagai identitas dari fakultas termuda di Untirta ini tidak bertahan lama, hingga akhirnya diputuskan agar diganti dengan warna O

Menulis Sebagai Hobi

Setiap orang lahir dengan potensi dan kemampuan yang berbeda-beda dan tentunya masing-masing individu memiliki selera dan ketertarikan yang berbeda terhadap suatu hal. Bukanlah sesuatu yang perlu dijadikan perdebatan ketika seseorang menyukai sesuatu tetapi orang lain tidak sepaham dengan apa yang kita rasakan. Hobi, satu kata yang menggambarkan hal yang kita gemari, sukai, dan senangi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hobi adalah kegemaran atau kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Hobi juga sering dianggap sebagai kegiatan yang dapat menenangkan pikiran seseorang. Ada begitu banyak hobi yang ada di dunia ini. Semua kegiatan yang dapat kita lakukan bisa menjadi hobi kita. Mulai dari kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang sampai kegiatan yang paling aneh sekalipun. Diantaranya seperti menonton film, mendengarkan musik, berenang, bermain sepeda, menulis, dan sebagainya. Dari sekian banyaknya hobi yang ada, karena penulis merupak