Jika
berbicara tentang puisi, mungkin aku adalah salah satu orang yang akan sangat
antusisa dengan hal tersebut. Walaupun aku sendiri bukanlah orang yang mahir
membuat puisi, tetapi aku adalah salah satu dari sekian banyak penikmat puisi
yang ada di muka bumi. Entah mengapa setiap rangkaian kata yang terkandung
dalam setiap puisi selalu berhasil membuatku tehanyut dalam emosi yang ada di
dalamnya. Bukan hanya terhanyut, tetapi pastinya penasaran dengan penulisnya,
dan bagaimana ia bisa merangkai kata sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah
frasa-frasa yang sangat indah.
Beruntung
sekali rasanya aku bisa berbincang-bincang dengan salah satu penulis buku
antologi, walaupun hanya melalui smartphone. Buku antologi adalah buku yang
berisi tentang kumpulan-kumpulan puisi. Buku yang aku maksud disini adalah buku
yang berjudul “Senja Pukul Lima”, hasil karya Dendy Rizal Hardiansyah.
Sering
dipanggil dengan sebutan ‘Mas Dendy’, pria kelahiran Trenggalek ini mengaku
mulai menyukai seni menulis sejak tahun 2011, tepatnya saat ia masih duduk di
bangku SMA kelas 2. Jika kita sering mendengar ungkapan bahwa “tak ada yang
abadi” maka ia berpendapat bahwa apapun di dunia ini bisa abadi, yaitu dengan
tulisan. Oleh karena itu, baginya menulis adalah cara untuk tetap abadi. ”Selain
itu, menulis adalah cara terlembut untuk meluapkan emosi, dan karena menulis
selalu bisa menenangkan hati” ujar pria pencinta sambel ini.
Meski
jam menandakan sudah lewat tengah malam, tetapi Mas Dendy masih merespon satu
persatu pertanyaanku dengan ramah dan antusias. Ketika aku menanyakan alasannya
menjadi penulis buku antologi, dia menjawab “karena tidak ada bentuk tulisan
lain yang lebih mampu menggambarkan rasa daripada puisi”. Selain itu,
kesukaannya terhadap keindahan juga yang telah melatarbelakangi terbitnya buku
‘Senja Pukul Lima’. Karena baginya, antologi diibaratkan sebagai kumpulan
keindahan dari bait-bait kalimat yang menyatu menjadi setebal buku.
Menurut
Mas Dendy, puisi-puisi yang telah ia buat merupakan perwakilan dari emosi yang
sedang ia rasakan. Entah itu ketika sedang marah, bahagia, ataupun sedang
sedih, semua ia gambarkan melaui rangkaian kata di dalam puisinya. Jika
diibaratkan makanan, puisi akan terasa hambar apabila tidak diiringi dengan
emosi dari si penulis. Selain itu, agar sensasi emosi yang ingin disampaikan
oleh penulis bisa turut menjalar kedalam diri pembaca.
Penulis yang juga aktif
di dunia organisasi ini menyebutkan bahwa tulisan-tulisan yang telah ia buat
saat ini sedikit banyaknya terinspirasi dan mendapatkan influence dari beberapa
penulis dan penyair terdahulu. Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, Y.
B Mangun Wijaya, Iwan Setyawan, Najwa Zebian, dan Wiji Thukul adalah deretan
penulis yang selama ini menyalurkan banyak inspirasi kepada Mas Dendy dalam
melahirkan karya-karyanya. “Setiap penulis punya ciri khas masing-masing dan
tulisan mereka sering aku baca. Tapi satu hal yang sama diantara mereka, emosi.
Tulisan mereka membawa emosi di dalamnya” ujar mahasiswa jurusan Hubungan
Internasional UMM ini saat kutanyai alasannya terinspirasi dari beberapa
penulis tersebut. (Gabriella)
Komentar
Posting Komentar