Langsung ke konten utama

Aku dan Narkoba, Dulu Dekat, Sekarang Bersekat

Arif Mulyawan, nama yang dimilikinya mungkin begitu familiar bagi 250 juta jiwa yang tinggal di Indonesia. Nama yang Indonesia banget kalau kata anak gaul jaman sekarang. Jika mendengar dari namanya saja, mungkin tidak akan menarik, tetapi cerita yang telah dialami oleh pemilik nama tersebutlah yang menarik.
Mungkin kita sering mendengar cerita tentang seseorang yang dahulunya sering berbuat maksiat, tetapi kini justru malah menjadi seorang ustadz. Kisah yang dialami oleh Arif kurang lebih seperti itu. Ia pernah mengalami masa dimana ia dekat dengan narkoba selama masa hidupnya, tetapi kini justru ia malah turut berperan menjadi pembasmi narkoba.
Pria penggemar warna biru ini lahir di Kota Serang, tepatnya 39 tahun lalu. Arif menghabiskan masa kecil hingga dewasa di kota kelahirannya. Sebenarnya ia sempat beberapa tahun hijrah ke kota yang sering disebut sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta. Tetapi nasib membawanya kembali ke tanah kelahirannya.
Seiring berjalannya waktu, Arif kecil tumbuh dengan rasa kecintaannya terhadap alam yang telah diciptakan oleh Tuhan YME sekaligus menjadi tempat ia menetap sejak 39 tahun silam. Kecintaannya terhadap keindahan alam selama ini, ternyata telah membawanya untuk menyukai keindahan yang lain, keindahan buatan manusia, yaitu seni.
Seni bagi Arif, layaknya cat yang memberi warna di kanvas kehidupannya. Jika hidup tanpa seni, mungkin diibaratkan seperti tinggal di dunia monochrome, hanya ada dua warna, hitam dan putih. Tidak hanya dengan seni, ia juga melengkapi kehidupannya dengan petualangan-petualangan baru, karena memang ia sangat menyukai tantangan dan petualangan.
Kecintaannya terhadap alam, tantangan, dan petualanganlah yang mambawanya akrab dengan para pencinta alam. Baik itu pada masa-masa putih-abunya, hingga ia menyandang gelar sebagai mahasiswa.
Dari kelompok pecinta alam itulah iya mengenal ganja dan sejenisnya. Semua bermula sejak tahun 1993. Arif yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) di salah satu SMA Negeri yag terletak di kawasan tembong, Kota Serang, memilih untuk bergabung dengan kelompok Siswa Pecinta Alam (Sispala).
Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa disana ia akan bertemu dengan para pengguna narkoba, baik dari kelas paling rendah sampai pada tahapan pecandu. Arif yang berperan sebagai anggota baru hanya dapat menonton senior - seniornya ketika sedang menggunakan obat-obatan terlarang saja pada saat itu.
Penasaran, itu yang dirasakan Arif selama menjadi penonton para pengguna narkoba di kelompoknya. Tetapi Arif tidak meminta, ia hanya menunggu untuk ditawarkan. Karena ia sendiri juga sebenarnya ragu, apakah benda tersebut boleh digunakan atau tidak.
Dengan latar belakang keluarga yang notabene orang-orang yang bergelut di dunia pendidikan, serta tinggal di lingkungan yang cukup diajarkan ilmu agama, sedikit menahan Arif untuk mencoba hal tersebut. Namun apa boleh buat, rasa penasaran mengalahkan segalanya.
Bukan hanya itu saja, dorongan untuk menjadi bagian dari kelompok Sispala seutuhnya pun menjadi faktor yang mendorong Arif untuk pada akhirnya mau mencoba narkoba. Ia tidak mengetahui apa dampaknya pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, selama duduk di bangku SMA, itu menjadi sebuah kebiasaan yang rutin dilakukan setiap harinya oleh Arif. Jika murid-murid lain pergi ke kantin untuk membeli dan berbagi makanan, lain hal nya dengan Arif dan kawan-kawan.
Di belakang kantin tepatnya, pada masa itu tempat tersebut masih seperti hutan belantara. Jadi wajar saja jika jarang ada yang datang kesana. Hanya Arif dan kawan-kawan kelompoknya yang dengan asyik berbagi lintingan-lintingan ganja.
Mengkonsumsi itu di sekolah apa diperbolehkan? Kalau dipergoki oleh guru bagaimana?
“Wong terkadang ada guru saya yang ikut kumpul dengan kami kok” kata Arif sambil tertawa.
Ada satu orang guru Bahasa Inggris, perempuan. Ia terkadang ikut ngumpul bersama Arif dan kawan-kawannya di belakang kantin sekolah. Bukan untuk memarahi atau memberi hukuman, mereka hanya ngobrol seperti biasa. Layaknya teman sebaya yang asyik menghabiskan waktu istirahat sekolah bersama.
Tetapi tidak semua guru se asyik itu. Ada pula guru yang tidak menyukai apa yang mereka lakukan. Pernah sekali waktu mereka dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Tetapi yah, hanya teguran dan nasihat yang mereka dapatkan. Kalau hanya itu saja, mereka sudah kebal.
Kelompok Sispala di sekolah Arif pada saat itu memang terkenal berisi orang – orang yang bengal. Pada masa itu, siswa – siswa yang lainnya pun seperti memaklumi apa yang kami lakukan. Toh, tidak ada yang mau berurusan dengan mereka.
Karena label yang disandangnya itu lah, mereka menjadi kelompok yang cukup disegani oleh siswa lainnya pada saat itu. Tak jarang ketika mereka asyik menikmati narkoba dan sedang tidak sadarkan diri di belakang kantin, ada beberapa siswa yang memergoki. Tetapi hanya dengan sekali tatap, bungkam sudah mulut siswa yang menjadi saksi tersebut.
Arif dan kawan-kawannya memang dipandang menakutkan di kalangan murid laki – laki. Tetapi hal tersebut sepertinya tidak berlaku pada murid perempuan. Mereka justru malah seolah – olah menjadi idola bagi para murid perempuan.
Sambil menyeka keringat, dengan mata menerawang dan tersenyum bangga sekaligus geli Arif mengatakan “dulu, perempuan yang bisa jadi pacar salah satu diantara kami, pasti bangganya bukan main”.
Bagaimana tidak, Arif dan kawan – kawannya dipandang bak jagoan. Perihal baik atau tidaknya mereka, itu urusan belakangan. Yang penting para murid perempuan yang menjadi pacar dari salah satu personil kelompok tersebut ikut merasa keren dibandingkan dengan murid perempuan lainnya.
Tetapi walaupun Arif berada di lingkungan pergaulan yang bisa dikatakan kurang baik, ia tidak pernah merasa seperti itu. Karena bagi Arif, kawan – kawan di kelompoknya, merupakan orang – orang yang solid dan loyal dengan sesamanya.
Menyenangkan. Itulah yang Arif rasakan pada saat itu. Bagaimana tidak, bertemu dan akrab dengan orang – orang yang satu passion dengan dirinya, menjadi idola di kalangan murid – murid perempuan dan mengenal benda – benda penghilang stress yang bisa dinikmati kapan saja. Arif seolah – olah menemukan surga dunia yang sering dibahas oleh orang – orang.
Sebenarnya ketidaktahuan lah yang membuat Arif tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Baik ataukah buruk hal tersebut, ia tidak tahu. Atau malah tidak mau mencari tahu. Karena sudah kepalang nyaman dan terbiasa dengan segalanya.
Kebiasaan mengkonsumsi narkoba terus berlanjut hingga akhir masa SMA Arif. Sudah memasuki akhir semsester genap di kelas tiga. Akhirnya Arif harus meninggalkan sekolahnya, belakang kantin, serta teman – temannya di Sispala.
Setelah lulus SMA Arif memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang cukup terkenal di Kota Yogyakarta. Ia menginjakkan kaki pertama kali di Kota Yogyakarta 21 tahun silam, yaitu tahun 1996 dengan menyandang gelar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Perguruan tinggi yang Arif pilih merupakan universitas yang berbasis agama Islam. Pendidikan dan pengetahuan seputar agama menjadi hal yang wajib untuk dipelajari oleh para mahasiswanya. Terlepas dari jurusan apa yang dipilih.
Arif yang masih berstatus mahasiswa baru saat itu memilih untuk mengikuti passion nya kembali dengan bergabung di kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Kalau menyangkut perihal kegemaran, pastinya agak sulit untuk berubah.
Meninggalkan teman – temannya semasa SMA, tidak berarti meninggalkan iklim kelompok yang serupa. Latar belakang universitas yang berbasis agama Islam ternyata tidak berpengaruh dalam iklim Mapala tempat dimana Arif bergabung.
Lagi – lagi Arif bertemu dengan orang – orang yang memiliki kebiasan yang sama dengan teman – temannya semasa SMA. Gemar megkonsumsi narkoba.
Bahkan jenis dan kategori yang digunakan oleh teman – teman kelompoknya beberapa level lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa dikonsumsi oleh Arif dan teman teman – temannya semasa SMA. Seperti kembali ke rumah, pikir Arif.
Aneh memang, rasanya seperti sejauh apapun Arif pergi, pasti akan didekatkan kembali dengan lingkungan seperti itu, dan tentunya dengan narkoba. Seolah – olah alam tidak mengizinkan  Arif untuk berhenti mengkonsumsi narkoba.
Karena memang sebelum ia menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta, ia memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi benda – benda tersebut. Tetapi lain halnya jika situasinya seperti saat ini. Mau tidak mau, Arif harus kembali ke kebiasaan lamanya yaitu akrab dengan ganja dan sejenisnya.
Jika pada semasa SMA tempat favorit untuk mengkonsumsi narkoba adalah di belakang kantin sekolah dan sekretariat sispala, lain halnya dengan saat ini. Arif dan kawan – kawannya sering mengkonsumsi benda – benda tersebut di rumah yang disewa oleh salah satu teman kelompoknya. Mereka menyebutnya base camp.
Awalnya Arif tidak tahu menahu bahwa teman – temannya di Mapala juga sering mengkonsumsi narkoba. Hanya memang ada beberapa orang yang kelihatan jelas oleh Arif sebagai pengguna, bahkan pecandu.
Tak lama setelah Arif bergabung dengan Mapala, ia diajak untuk emngunjungi base camp yang terletak tidak jauh dari universitas tempat mereka menempuh pendidikan. Pada awalnya di rumah tersebut mereka hanya mengobrol biasa. Hanya obrolan ringan seputar keseharian mereka, sibuk membahas pengalaman pribadi satu sama lain. Karena memang mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia.
Sambil mendengarkan obrolan teman – temannya yang lain, Arif menebarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu rumah tersebut. Pandangannya terhenti ketika melihat ada sisa – sisa lintingan ganja di dalam asbak yang berada di atas meja.
Dari sanalah ia baru bisa membenarkan asumsinya selama ini, bahwa sama saja dengan kelompok di masa SMA nya. Mereka juga merupakan para pengguna bahkan beberapa diantaranya merupakan pecandu.
Benar saja, tak lama kemudian datang seseorang yang membawa beberapa jenis narkoba untuk dikonsumsi bersama – sama. Semua barang tersebut diletakkan di atas meja. Mulai dari jenis yang ringan hingga jenis berat ada disana. Yang dihisap, dihirup, atau langsung dimakan langsung, semuanya tersedia.
Tidak perlu ditanyakan lagi apa yang Arif dan teman – temannya lakukan setelah itu. Teman – temannya menyodorkan satu lintingan kepada Arif. Maksud hati ingin menolak, apa daya ketika sudah berada di depan mata, ya tidak bisa menolak.
Jika biasanya orang – orang kalau ngobrol sambil ditemani dengan rokok, lain hal nya dengan Arif dan kawan – kawannya tersebut. Bukan rokok yang mereka hisap, melainkan lintingan – lintingan ganja dan narkoba jenis lainnya.
Rumah tersebut memang selalu menjadi tempat mereka untuk berkumpul dan saling berbagi narkoba. Tetangga yang lain bagaimana? Apakah tahu? Ya sudah jelas tahu pasti. Tetapi lagi – lagi masyarakat sekitar memaklumi.
Karena memang rumah tersebut berada di lingkungan orang – orang yang bisa dikatakan apatis. Selama mereka tidak mengusik dan mengganggu keseharian tetangganya yang lain, tidak menjadi masalah dan tidak akan dipermasalahkan.
Yang uniknya adalah, ada beberapa teman di kelompoknya Arif yang merupakan orang asli Aceh sering membawa banyak daun ganja dari daerah asalnya. Maklum, di Aceh ganja memang mudah sekali didapatkan. Biasanya ia membawa daun – daun ganja tersebut ke Yogyakarta dengan cara di taro di dalam bambu. Agar lolos pemeriksaan, katanya.
Arif menjalani hari – hari di awal masa kuliahnya dengan menyenangkan. Bagaimana tidak, walaupun berada di Yogyakarta, ia tetap merasa seperti di rumah. Karena bertemu dengan orang – orang yang sama dan iklin yang sama dengan teman – teman di SMA nya.
Dengan kondisi yang bisa dikatakan semakin dewasa, pada saat itu Arif masih saja belum tergerak hatinya untuk mencari tahu bahaya apa yang akan dialaminya jika terus menerus mengkonsumsi narkoba. Orientasinya masih hanya untuk mencari kesenangan semata bersama dengan teman – temannya.
Selain itu, ia tidak merasa dirugikan dengan mengkonsumsi benda – benda tersebut baik dari segi apapun.
“Ya saya tidak merasa dirugikan, terutama sih dari segi ekonomi ya. Karena selama mengkonsumsi itu saya selalu dapat gratis. Tidak seperti yang lain harus membeli dengan harga mahal” ujar Arif.
Kebiasaan mengkonsumsi benda – benda tersebut terus berjalan hingga Arif menginjak semester 3. Pada saat itu, entah mengapa seperti mendapatkan tamparan yang keras hingga Arif terbangun dari tidurnya selama ini. Ia disadarkan bahwa apa yang ia konsumsi selama ini buruk bagi dirinya sendiri.
Semua berawal ketika Arif mendapatkan informasi bahwa salah satu teman semasa SMA nya yang juga merupakan pengguna dikabarkan meningal dunia. Ironisnya, ia meninggal dikarenakan over dosis ketika sedang mengkonsumsi heroin.
Kabar tersebut sampai dengan cepat ke telinga Arif. Pada saat itu pula rasa takut datang menghampiri Arif. Takut bahwa hal serupa nantinya akan terjadi juga pada dirinya. Takut jika nanti mimpi – mimpi dan rencana yang ia miliki di masa depan tidak bisa terwujud hanya karena narkoba.
Yang semula Arif seolah tidak ingin mengetahui dan mencari tahu tentang bahaya – bahaya yang ditimbulkan secara rinci. Mulai saat itu, Arif menjadi penasaran sejadi – jadinya tentang dampak buruk yang akan menimpa dirinya jika ia terus mengkonsumsi narkoba.
Berbagai macam buku tentang narkoba ia baca. Maklum, pada saat itu masih sulit untuk mengakses internet, tidak seperti saat ini.
Hampir setiap hari ia mengunjungi perpustakaan hanya untuk mencari dan membaca buku seputar bahaya narkoba. Hingga akhirya Arif menyadari bahwa paling parahnya, ia beresiko terkena HIV/AIDS yang akan berujung pada kematian.
Mulai saat itu juga, Arif memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi narkoba lagi. Pantas saja selama ini ia tidak pernah merasakan dampak langsung yang buruk setelah mengkonsumsi narkoba. Karena memang pada dasarnya dampaknya baru akan terasa 10 tahun kedepan.
Ketika Arif sudah mulai berhenti mengkonsumsi narkoba, di sisi lain ada yang mengganjal pikirannya. Yaitu nasib teman – temannya yang masih berstatus sebagai pengguna, bahkan pecandu. Arif tidak ingin sadar sendirian, ia ingin teman – temannya juga tersadar dan sebisa mungkin terhindar dari dampak buruk narkoba sebelum terlambat.
“Waktu saya sudah berhenti menggunakan narkoba, saya suka sedih kalau melihat teman-teman saya yang masih ketergantungan sama narkoba. Makanya saya mau teman-teman saya yang lain juga sadar kalau narkoba itu sangat berbahaya”.
Tidak cukup hanya mempelajari seputar narkoba, tetapi ia juga ingin membantu para pengguna lain agar tersadar, khususnya bagi teman – teman dekatnya. Ia ingin melakukan aksi nyata dalam memerangi narkoba.
Tidak mudah memang memutuskan untuk memerangi hal yang pernah sangat dekat dengan kita. Bagaimana sulitnya untuk menjadikan benda yang sering di konsumsi sebagai musuh yang harus dibasmi.
Bukan hanya itu saja, godaan terberat adalah yang datang dari teman dekat Arif sendiri. Seringkali setelah memutuskan untuk berhenti menggunakan narkoba, ia disodorkan oleh beberapa temannya. Godaan untuk kembali mengkonsumsi narkoba pastilah ada. Tetapi bagaimanapun juga Arif sudah bertekad untuk menjauhinya dan ia harus menjalankan itu.
Seiring berjalannya waktu, dengan beberapa penolakan yang seringkali Arif lakukan kepada teman – temannya yang menawarkan narkoba, akhirnya mereka bisa mengerti. Bahkan teman – teman Mapala menghormati apa yang sudah menjadi keputusan Arif dan mendukung penuh keputusannya.
Karena Arif tidak ingin sada sendirian, ia ingin para pengguna lainnya juga sadar dan berhenti untuk menggunakan narkoba, serta ia memutuskan untuk bergabung menjadi relawan di beberapa  LSM  di Yogyakarta yang bertugas untuk memerangi narkoba. Inilah tahap awal metamorfosis seorang Arif Mulyawan. Dari seorang pengguna narkoba menjadi pembasmi narkoba.
Karena menurut Arif, pada dasarnya para pengguna dan pecandu narkoba memiliki keinginan untuk berhenti mengkonsumsi. Hanya saja, keadaan dan lingkungan yang memaksa mereka untuk terus terjerat narkoba.
Arif aktif mengikuti melakukan gerakan anti narkoba di Yogyakarta sampai pada tahun 2000. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke Banten guna membenahi kampung halamannnya sendiri. Mengajak teman – teman semasa SMA nya untuk sedikit demi sedikit melepas kebiasaan buruk mereka tersebut.
Pada saat kembali ke Banten, Arif mulai mencari keadaan yang tidak sesuai, dalam hal ini yang berkaitan dengan narkoba untuk mencoba membantu membenahinya. Ketika sedang sibuk mencari, ia bertemu dengan teman-teman masa SMA nya dan ironisnya mereka sudah dalam kondisi yang mengenaskan akibat ketergantungan narkoba. Sampai ada beberapa diantaranya yang terkena HIV akibat sering menggunakan narkoba dengan cara suntik.
“Saya berpikir bahwa ini harus diseriusin nih”
Dari keprihatinannya itulah ia bertekad untuk membantu membenahi masalah penyalahgunaan narkoba yang ada di Banten. Dengan berbekal jaringan yang dimilikinya, akhirnya ia bertemu dengan Edwin Rahman, Sekretaris Pribadi Wakil Gubernur Banten, dan mendapatkan dukungan untuk inisiatif yang ingin dilakukannya. Akhirnya pada tahun 2005, Arif dengan dibantu oleh Edwin membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Meskipun nama dari komunitas tersebut untuk menanggulangi AIDS, tetapi gerakan yang dilakukan lebih berfokus kepada pembasmian penggunaan narkotika. “Sesuai dengan misi awal saya, untuk mengurangi angka pengguna nerkotika di Banten” ucapnya.
KPA pada awal berdirinya masih berbentuk komunitas, yang didalamnya terdiri dari para mantan pengguna narkoba dan anak-anak jalanan. Pada saat itu Arif mengajak mereka untuk menjadi relawan agar sama-sama bisa membantu menyembuhkan pengguna narkoba. Dengan bantuan para relawan dan dukungan dari Biro Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Provinsi Banten serta Edwin Rahman.
Arif aktif di KPA selama 11 tahun. Ia dinyatakan keluar dari KPA pada tahun 2016 dikarenakan masalah yang menimpanya yaitu tuduhan melakukan korupsi dana di KPA. Tetapi perjuangan Arif dalam memerangi narkoba khususnya di Provinsi Banten tidak berhenti sampai disitu.
Setelah dinyatakan keluar dari KPA, Arif langsung diminta oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Banten untuk membantu di bagian rehabilitasi pengguna narkoba. Ia menerima tawaran tersebut dan saat pertama bergabung, ia langsung ditugaskan di Kota Cilegon.
Selama menjadi pengguna hingga akhirnya menjadi pembasmi, Arif tidak pernah menceritakan masa kelamnya dengan narkoba kepada keluarganya. Baru beberapa tahun belakangan ini iya mengaku dan meceritakan semuanya kepada kakaknya. Dan benar saja, kakaknya merasa terkejut, karena memang Arif selama ini dipandang sebagai anak yang baik di keluarganya.
Pengalaman Arif dengan narkoba selama ini memiliki beberpa fase. Dimulai dari tahap tidak tahu, menjadi tahu. Setelah tahu, menjadi dekat dan akrab. Dan pada akhirnya Arif memposisikan narkoba sebagai hal yang harus ia perangi.
Pernah mengkonsumsi narkoba menimbulkan penyesalan pada diri Arif. Dampak dari narkoba baru ia rasakan ketika usianya sudah menginjak angka 39 tahun. Ia menderita pengapuran di bagian tulang belakangnya yang merupakan efek dari terlalu sering mengkonsumsi ganja.
“Kalau dilihat dari pengalaman saya, harapannya semoga remaja yang ada di Provinsi Banten khususnya sebaiknya jangan coba-coba dengan yang namanya narkoba. Dan para remaja seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih akan dampak dan bahaya dari penyalahgunaan narkoba. Karena apabila sudah addict maka akan sulit untuk berkata tidak pada narkoba”  ujar Arif di penghujung ceritanya. (Gabriella)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYO, KENALI FISIP-MU !

Brotherhood !!! Bagi sebagian besar mahasiswa Untirta pasti tidak asing lagi dengan kata tersebut. Kata ‘brotherhood’ merupakan jargon atau kata kunci dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta. Fakultas yang baru berusia 12 tahun ini merupakan fakultas termuda di Untirta. Fakultas orange ini didirikan pada tahun ajaran 2002/2003 yang diresmikan dengan surat keputusan nomor   124/0/2004 sesuai dengan SOTK. Sebelum dijuluki sebagai ‘Fakultas Orange’, FISIP Untirta dikenal sebagai fakultas yang identik dengan warna biru yang menyerupai warna biru telur asin, yang lebih cenderung berwarna abu-abu. Mengapa demikian? Karena FISIP Untirta merupakan fakultas yang bernuansa politik dan warna abu-abu dianggap sebagai simbolisasi dari politik, maka tercetuslah warna tersebut sebagai identitas dari FISIP Untirta. Namun penetapan warna tersebut sebagai identitas dari fakultas termuda di Untirta ini tidak bertahan lama, hingga akhirnya diputuskan agar diganti dengan warna O

Menulis Sebagai Hobi

Setiap orang lahir dengan potensi dan kemampuan yang berbeda-beda dan tentunya masing-masing individu memiliki selera dan ketertarikan yang berbeda terhadap suatu hal. Bukanlah sesuatu yang perlu dijadikan perdebatan ketika seseorang menyukai sesuatu tetapi orang lain tidak sepaham dengan apa yang kita rasakan. Hobi, satu kata yang menggambarkan hal yang kita gemari, sukai, dan senangi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hobi adalah kegemaran atau kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Hobi juga sering dianggap sebagai kegiatan yang dapat menenangkan pikiran seseorang. Ada begitu banyak hobi yang ada di dunia ini. Semua kegiatan yang dapat kita lakukan bisa menjadi hobi kita. Mulai dari kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang sampai kegiatan yang paling aneh sekalipun. Diantaranya seperti menonton film, mendengarkan musik, berenang, bermain sepeda, menulis, dan sebagainya. Dari sekian banyaknya hobi yang ada, karena penulis merupak

Mengkroscek Sejarah Dari Kuncen Banten Girang

Setiap tempat dan daerah pasti memiliki sejarahnya masing-masing. Latar belakang, asal muasal, kultur masyarakat terdahulu merupakan hal-hal yang amat menarik untuk diulik dan dipelajari. Tetapi nyatanya, tidak semua sejarah yang kita baca di buku-buku pelajaran sekolah ataupun literatur lainnya merupakan fakta yang sebenarnya terjadi. Termasuk di tanah Jawara ini, khususnya di daerah Banten Girang. Memiliki sejarah panjang yang sedikit orang lain ketahui. Bahkan ada beberapa yang salah menafsirkan sejarah yang ada. Saya merasa beruntung sekali bertemu sosok seperti Abah Hasan. Beliau merupakan kuncen dari situs wisata Banten Girang. Sama seperti kuncen situs-situs wisata sejarah lainnya, Abah Hasan mendedikasikan hidupnya untuk menjaga situs Banten Girang tersebut. Abah Hasan mulai menjadi kuncen situs Banten Girang sejak ia masih berusia 12 tahun. Lelaki yang memiliki nama asli Abdu Hasan ini meneruskan profesi turun temurun dari kakek dan neneknya sebagai kuncen Banten Gi