Arif
Mulyawan, nama yang dimilikinya mungkin begitu familiar bagi 250 juta jiwa yang
tinggal di Indonesia. Nama yang Indonesia banget
kalau kata anak gaul jaman sekarang. Jika mendengar dari namanya saja,
mungkin tidak akan menarik, tetapi cerita yang telah dialami oleh pemilik nama
tersebutlah yang menarik.
Mungkin
kita sering mendengar cerita tentang seseorang yang dahulunya sering berbuat
maksiat, tetapi kini justru malah menjadi seorang ustadz. Kisah yang dialami
oleh Arif kurang lebih seperti itu. Ia pernah mengalami masa dimana ia dekat
dengan narkoba selama masa hidupnya, tetapi kini justru ia malah turut berperan
menjadi pembasmi narkoba.
Pria
penggemar warna biru ini lahir di Kota Serang, tepatnya 39 tahun lalu. Arif
menghabiskan masa kecil hingga dewasa di kota kelahirannya. Sebenarnya ia
sempat beberapa tahun hijrah ke kota yang sering disebut sebagai Kota Pelajar,
Yogyakarta. Tetapi nasib membawanya kembali ke tanah kelahirannya.
Seiring
berjalannya waktu, Arif kecil tumbuh dengan rasa kecintaannya terhadap alam
yang telah diciptakan oleh Tuhan YME sekaligus menjadi tempat ia menetap sejak
39 tahun silam. Kecintaannya terhadap keindahan alam selama ini, ternyata telah
membawanya untuk menyukai keindahan yang lain, keindahan buatan manusia, yaitu
seni.
Seni
bagi Arif, layaknya cat yang memberi warna di kanvas kehidupannya. Jika hidup
tanpa seni, mungkin diibaratkan seperti tinggal di dunia monochrome, hanya ada
dua warna, hitam dan putih. Tidak hanya dengan seni, ia juga melengkapi
kehidupannya dengan petualangan-petualangan baru, karena memang ia sangat
menyukai tantangan dan petualangan.
Kecintaannya
terhadap alam, tantangan, dan petualanganlah yang mambawanya akrab dengan para
pencinta alam. Baik itu pada masa-masa putih-abunya, hingga ia menyandang gelar
sebagai mahasiswa.
Dari
kelompok pecinta alam itulah iya mengenal ganja dan sejenisnya. Semua bermula
sejak tahun 1993. Arif yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah
Menengah Atas (SMA) di salah satu SMA Negeri yag terletak di kawasan tembong,
Kota Serang, memilih untuk bergabung dengan kelompok Siswa Pecinta Alam
(Sispala).
Tidak
terpikirkan sebelumnya bahwa disana ia akan bertemu dengan para pengguna
narkoba, baik dari kelas paling rendah sampai pada tahapan pecandu. Arif yang
berperan sebagai anggota baru hanya dapat menonton senior - seniornya ketika
sedang menggunakan obat-obatan terlarang saja pada saat itu.
Penasaran,
itu yang dirasakan Arif selama menjadi penonton para pengguna narkoba di
kelompoknya. Tetapi Arif tidak meminta, ia hanya menunggu untuk ditawarkan.
Karena ia sendiri juga sebenarnya ragu, apakah benda tersebut boleh digunakan
atau tidak.
Dengan
latar belakang keluarga yang notabene orang-orang yang bergelut di dunia
pendidikan, serta tinggal di lingkungan yang cukup diajarkan ilmu agama,
sedikit menahan Arif untuk mencoba hal tersebut. Namun apa boleh buat, rasa
penasaran mengalahkan segalanya.
Bukan
hanya itu saja, dorongan untuk menjadi bagian dari kelompok Sispala seutuhnya
pun menjadi faktor yang mendorong Arif untuk pada akhirnya mau mencoba narkoba.
Ia tidak mengetahui apa dampaknya pada saat itu.
Seiring
berjalannya waktu, selama duduk di bangku SMA, itu menjadi sebuah kebiasaan
yang rutin dilakukan setiap harinya oleh Arif. Jika murid-murid lain pergi ke
kantin untuk membeli dan berbagi makanan, lain hal nya dengan Arif dan
kawan-kawan.
Di
belakang kantin tepatnya, pada masa itu tempat tersebut masih seperti hutan
belantara. Jadi wajar saja jika jarang ada yang datang kesana. Hanya Arif dan
kawan-kawan kelompoknya yang dengan asyik berbagi lintingan-lintingan ganja.
Mengkonsumsi
itu di sekolah apa diperbolehkan? Kalau dipergoki oleh guru bagaimana?
“Wong
terkadang ada guru saya yang ikut kumpul dengan kami kok” kata Arif sambil
tertawa.
Ada
satu orang guru Bahasa Inggris, perempuan. Ia terkadang ikut ngumpul bersama
Arif dan kawan-kawannya di belakang kantin sekolah. Bukan untuk memarahi atau
memberi hukuman, mereka hanya ngobrol seperti biasa. Layaknya teman sebaya yang
asyik menghabiskan waktu istirahat sekolah bersama.
Tetapi
tidak semua guru se asyik itu. Ada pula guru yang tidak menyukai apa yang
mereka lakukan. Pernah sekali waktu mereka dipanggil ke ruang Bimbingan
Konseling (BK). Tetapi yah, hanya teguran dan nasihat yang mereka dapatkan.
Kalau hanya itu saja, mereka sudah kebal.
Kelompok
Sispala di sekolah Arif pada saat itu memang terkenal berisi orang – orang yang
bengal. Pada masa itu, siswa – siswa yang lainnya pun seperti memaklumi apa
yang kami lakukan. Toh, tidak ada yang mau berurusan dengan mereka.
Karena
label yang disandangnya itu lah,
mereka menjadi kelompok yang cukup disegani oleh siswa lainnya pada saat itu.
Tak jarang ketika mereka asyik menikmati narkoba dan sedang tidak sadarkan diri
di belakang kantin, ada beberapa siswa yang memergoki. Tetapi hanya dengan
sekali tatap, bungkam sudah mulut siswa yang menjadi saksi tersebut.
Arif
dan kawan-kawannya memang dipandang menakutkan di kalangan murid laki – laki.
Tetapi hal tersebut sepertinya tidak berlaku pada murid perempuan. Mereka
justru malah seolah – olah menjadi idola bagi para murid perempuan.
Sambil
menyeka keringat, dengan mata menerawang dan tersenyum bangga sekaligus geli
Arif mengatakan “dulu, perempuan yang bisa jadi pacar salah satu diantara kami,
pasti bangganya bukan main”.
Bagaimana
tidak, Arif dan kawan – kawannya dipandang bak jagoan. Perihal baik atau
tidaknya mereka, itu urusan belakangan. Yang penting para murid perempuan yang
menjadi pacar dari salah satu
personil kelompok tersebut ikut merasa keren dibandingkan dengan murid
perempuan lainnya.
Tetapi
walaupun Arif berada di lingkungan pergaulan yang bisa dikatakan kurang baik,
ia tidak pernah merasa seperti itu. Karena bagi Arif, kawan – kawan di
kelompoknya, merupakan orang – orang yang solid dan loyal dengan sesamanya.
Menyenangkan.
Itulah yang Arif rasakan pada saat itu. Bagaimana tidak, bertemu dan akrab
dengan orang – orang yang satu passion dengan
dirinya, menjadi idola di kalangan murid – murid perempuan dan mengenal benda –
benda penghilang stress yang bisa dinikmati kapan saja. Arif seolah – olah
menemukan surga dunia yang sering dibahas oleh orang – orang.
Sebenarnya
ketidaktahuan lah yang membuat Arif tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Baik
ataukah buruk hal tersebut, ia tidak tahu. Atau malah tidak mau mencari tahu.
Karena sudah kepalang nyaman dan terbiasa dengan segalanya.
Kebiasaan
mengkonsumsi narkoba terus berlanjut hingga akhir masa SMA Arif. Sudah memasuki
akhir semsester genap di kelas tiga. Akhirnya Arif harus meninggalkan
sekolahnya, belakang kantin, serta teman – temannya di Sispala.
Setelah
lulus SMA Arif memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah Perguruan
Tinggi Swasta yang cukup terkenal di Kota Yogyakarta. Ia menginjakkan kaki
pertama kali di Kota Yogyakarta 21 tahun silam, yaitu tahun 1996 dengan
menyandang gelar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Perguruan
tinggi yang Arif pilih merupakan universitas yang berbasis agama Islam.
Pendidikan dan pengetahuan seputar agama menjadi hal yang wajib untuk
dipelajari oleh para mahasiswanya. Terlepas dari jurusan apa yang dipilih.
Arif
yang masih berstatus mahasiswa baru saat itu memilih untuk mengikuti passion nya kembali dengan bergabung di
kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Kalau menyangkut perihal kegemaran,
pastinya agak sulit untuk berubah.
Meninggalkan
teman – temannya semasa SMA, tidak berarti meninggalkan iklim kelompok yang
serupa. Latar belakang universitas yang berbasis agama Islam ternyata tidak
berpengaruh dalam iklim Mapala tempat dimana Arif bergabung.
Lagi
– lagi Arif bertemu dengan orang – orang yang memiliki kebiasan yang sama
dengan teman – temannya semasa SMA. Gemar megkonsumsi narkoba.
Bahkan
jenis dan kategori yang digunakan oleh teman – teman kelompoknya beberapa level
lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa dikonsumsi oleh Arif dan teman
teman – temannya semasa SMA. Seperti kembali ke rumah, pikir Arif.
Aneh
memang, rasanya seperti sejauh apapun Arif pergi, pasti akan didekatkan kembali
dengan lingkungan seperti itu, dan tentunya dengan narkoba. Seolah – olah alam
tidak mengizinkan Arif untuk berhenti
mengkonsumsi narkoba.
Karena
memang sebelum ia menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta, ia memutuskan untuk
berhenti mengkonsumsi benda – benda tersebut. Tetapi lain halnya jika
situasinya seperti saat ini. Mau tidak mau, Arif harus kembali ke kebiasaan
lamanya yaitu akrab dengan ganja dan sejenisnya.
Jika
pada semasa SMA tempat favorit untuk mengkonsumsi narkoba adalah di belakang
kantin sekolah dan sekretariat sispala, lain halnya dengan saat ini. Arif dan
kawan – kawannya sering mengkonsumsi benda – benda tersebut di rumah yang
disewa oleh salah satu teman kelompoknya. Mereka menyebutnya base camp.
Awalnya
Arif tidak tahu menahu bahwa teman – temannya di Mapala juga sering
mengkonsumsi narkoba. Hanya memang ada beberapa orang yang kelihatan jelas oleh
Arif sebagai pengguna, bahkan pecandu.
Tak
lama setelah Arif bergabung dengan Mapala, ia diajak untuk emngunjungi base camp yang terletak tidak jauh dari
universitas tempat mereka menempuh pendidikan. Pada awalnya di rumah tersebut
mereka hanya mengobrol biasa. Hanya obrolan ringan seputar keseharian mereka,
sibuk membahas pengalaman pribadi satu sama lain. Karena memang mereka datang
dari berbagai daerah di Indonesia.
Sambil
mendengarkan obrolan teman – temannya yang lain, Arif menebarkan pandangannya
ke seluruh penjuru ruang tamu rumah tersebut. Pandangannya terhenti ketika
melihat ada sisa – sisa lintingan ganja di dalam asbak yang berada di atas
meja.
Dari
sanalah ia baru bisa membenarkan asumsinya selama ini, bahwa sama saja dengan
kelompok di masa SMA nya. Mereka juga merupakan para pengguna bahkan beberapa
diantaranya merupakan pecandu.
Benar
saja, tak lama kemudian datang seseorang yang membawa beberapa jenis narkoba
untuk dikonsumsi bersama – sama. Semua barang tersebut diletakkan di atas meja.
Mulai dari jenis yang ringan hingga jenis berat ada disana. Yang dihisap,
dihirup, atau langsung dimakan langsung, semuanya tersedia.
Tidak
perlu ditanyakan lagi apa yang Arif dan teman – temannya lakukan setelah itu.
Teman – temannya menyodorkan satu lintingan kepada Arif. Maksud hati ingin
menolak, apa daya ketika sudah berada di depan mata, ya tidak bisa menolak.
Jika
biasanya orang – orang kalau ngobrol sambil ditemani dengan rokok, lain hal nya
dengan Arif dan kawan – kawannya tersebut. Bukan rokok yang mereka hisap,
melainkan lintingan – lintingan ganja dan narkoba jenis lainnya.
Rumah
tersebut memang selalu menjadi tempat mereka untuk berkumpul dan saling berbagi
narkoba. Tetangga yang lain bagaimana? Apakah tahu? Ya sudah jelas tahu pasti.
Tetapi lagi – lagi masyarakat sekitar memaklumi.
Karena
memang rumah tersebut berada di lingkungan orang – orang yang bisa dikatakan
apatis. Selama mereka tidak mengusik dan mengganggu keseharian tetangganya yang
lain, tidak menjadi masalah dan tidak akan dipermasalahkan.
Yang
uniknya adalah, ada beberapa teman di kelompoknya Arif yang merupakan orang
asli Aceh sering membawa banyak daun ganja dari daerah asalnya. Maklum, di Aceh
ganja memang mudah sekali didapatkan. Biasanya ia membawa daun – daun ganja
tersebut ke Yogyakarta dengan cara di taro di dalam bambu. Agar lolos
pemeriksaan, katanya.
Arif
menjalani hari – hari di awal masa kuliahnya dengan menyenangkan. Bagaimana
tidak, walaupun berada di Yogyakarta, ia tetap merasa seperti di rumah. Karena
bertemu dengan orang – orang yang sama dan iklin yang sama dengan teman – teman
di SMA nya.
Dengan
kondisi yang bisa dikatakan semakin dewasa, pada saat itu Arif masih saja belum
tergerak hatinya untuk mencari tahu bahaya apa yang akan dialaminya jika terus
menerus mengkonsumsi narkoba. Orientasinya masih hanya untuk mencari kesenangan
semata bersama dengan teman – temannya.
Selain
itu, ia tidak merasa dirugikan dengan mengkonsumsi benda – benda tersebut baik
dari segi apapun.
“Ya
saya tidak merasa dirugikan, terutama sih dari segi ekonomi ya. Karena selama
mengkonsumsi itu saya selalu dapat gratis. Tidak seperti yang lain harus
membeli dengan harga mahal” ujar Arif.
Kebiasaan
mengkonsumsi benda – benda tersebut terus berjalan hingga Arif menginjak
semester 3. Pada saat itu, entah mengapa seperti mendapatkan tamparan yang
keras hingga Arif terbangun dari tidurnya selama ini. Ia disadarkan bahwa apa
yang ia konsumsi selama ini buruk bagi dirinya sendiri.
Semua
berawal ketika Arif mendapatkan informasi bahwa salah satu teman semasa SMA nya
yang juga merupakan pengguna dikabarkan meningal dunia. Ironisnya, ia meninggal
dikarenakan over dosis ketika sedang
mengkonsumsi heroin.
Kabar
tersebut sampai dengan cepat ke telinga Arif. Pada saat itu pula rasa takut
datang menghampiri Arif. Takut bahwa hal serupa nantinya akan terjadi juga pada
dirinya. Takut jika nanti mimpi – mimpi dan rencana yang ia miliki di masa
depan tidak bisa terwujud hanya karena narkoba.
Yang
semula Arif seolah tidak ingin mengetahui dan mencari tahu tentang bahaya –
bahaya yang ditimbulkan secara rinci. Mulai saat itu, Arif menjadi penasaran
sejadi – jadinya tentang dampak buruk yang akan menimpa dirinya jika ia terus
mengkonsumsi narkoba.
Berbagai
macam buku tentang narkoba ia baca. Maklum, pada saat itu masih sulit untuk
mengakses internet, tidak seperti saat ini.
Hampir
setiap hari ia mengunjungi perpustakaan hanya untuk mencari dan membaca buku
seputar bahaya narkoba. Hingga akhirya Arif menyadari bahwa paling parahnya, ia
beresiko terkena HIV/AIDS yang akan berujung pada kematian.
Mulai
saat itu juga, Arif memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi narkoba lagi. Pantas
saja selama ini ia tidak pernah merasakan dampak langsung yang buruk setelah
mengkonsumsi narkoba. Karena memang pada dasarnya dampaknya baru akan terasa 10
tahun kedepan.
Ketika
Arif sudah mulai berhenti mengkonsumsi narkoba, di sisi lain ada yang
mengganjal pikirannya. Yaitu nasib teman – temannya yang masih berstatus
sebagai pengguna, bahkan pecandu. Arif tidak ingin sadar sendirian, ia ingin
teman – temannya juga tersadar dan sebisa mungkin terhindar dari dampak buruk
narkoba sebelum terlambat.
“Waktu
saya sudah berhenti menggunakan narkoba, saya suka sedih kalau melihat
teman-teman saya yang masih ketergantungan sama narkoba. Makanya saya mau
teman-teman saya yang lain juga sadar kalau narkoba itu sangat berbahaya”.
Tidak
cukup hanya mempelajari seputar narkoba, tetapi ia juga ingin membantu para
pengguna lain agar tersadar, khususnya bagi teman – teman dekatnya. Ia ingin
melakukan aksi nyata dalam memerangi narkoba.
Tidak
mudah memang memutuskan untuk memerangi hal yang pernah sangat dekat dengan
kita. Bagaimana sulitnya untuk menjadikan benda yang sering di konsumsi sebagai
musuh yang harus dibasmi.
Bukan
hanya itu saja, godaan terberat adalah yang datang dari teman dekat Arif
sendiri. Seringkali setelah memutuskan untuk berhenti menggunakan narkoba, ia
disodorkan oleh beberapa temannya. Godaan untuk kembali mengkonsumsi narkoba
pastilah ada. Tetapi bagaimanapun juga Arif sudah bertekad untuk menjauhinya
dan ia harus menjalankan itu.
Seiring
berjalannya waktu, dengan beberapa penolakan yang seringkali Arif lakukan
kepada teman – temannya yang menawarkan narkoba, akhirnya mereka bisa mengerti.
Bahkan teman – teman Mapala menghormati apa yang sudah menjadi keputusan Arif
dan mendukung penuh keputusannya.
Karena
Arif tidak ingin sada sendirian, ia ingin para pengguna lainnya juga sadar dan
berhenti untuk menggunakan narkoba, serta ia memutuskan untuk bergabung menjadi
relawan di beberapa LSM di Yogyakarta yang bertugas untuk memerangi
narkoba. Inilah tahap awal metamorfosis seorang Arif Mulyawan. Dari seorang
pengguna narkoba menjadi pembasmi narkoba.
Karena
menurut Arif, pada dasarnya para pengguna dan pecandu narkoba memiliki
keinginan untuk berhenti mengkonsumsi. Hanya saja, keadaan dan lingkungan yang
memaksa mereka untuk terus terjerat narkoba.
Arif
aktif mengikuti melakukan gerakan anti narkoba di Yogyakarta sampai pada tahun
2000. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke Banten guna membenahi kampung
halamannnya sendiri. Mengajak teman – teman semasa SMA nya untuk sedikit demi
sedikit melepas kebiasaan buruk mereka tersebut.
Pada
saat kembali ke Banten, Arif mulai mencari keadaan yang tidak sesuai, dalam hal
ini yang berkaitan dengan narkoba untuk mencoba membantu membenahinya. Ketika
sedang sibuk mencari, ia bertemu dengan teman-teman masa SMA nya dan ironisnya
mereka sudah dalam kondisi yang mengenaskan akibat ketergantungan narkoba.
Sampai ada beberapa diantaranya yang terkena HIV akibat sering menggunakan
narkoba dengan cara suntik.
“Saya
berpikir bahwa ini harus diseriusin nih”
Dari
keprihatinannya itulah ia bertekad untuk membantu membenahi masalah
penyalahgunaan narkoba yang ada di Banten. Dengan berbekal jaringan yang
dimilikinya, akhirnya ia bertemu dengan Edwin Rahman, Sekretaris Pribadi Wakil
Gubernur Banten, dan mendapatkan dukungan untuk inisiatif yang ingin
dilakukannya. Akhirnya pada tahun 2005, Arif dengan dibantu oleh Edwin
membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Meskipun
nama dari komunitas tersebut untuk menanggulangi AIDS, tetapi gerakan yang
dilakukan lebih berfokus kepada pembasmian penggunaan narkotika. “Sesuai dengan
misi awal saya, untuk mengurangi angka pengguna nerkotika di Banten” ucapnya.
KPA
pada awal berdirinya masih berbentuk komunitas, yang didalamnya terdiri dari
para mantan pengguna narkoba dan anak-anak jalanan. Pada saat itu Arif mengajak
mereka untuk menjadi relawan agar sama-sama bisa membantu menyembuhkan pengguna
narkoba. Dengan bantuan para relawan dan dukungan dari Biro Kesejahteraan
Masyarakat (Kesra) Provinsi Banten serta Edwin Rahman.
Arif
aktif di KPA selama 11 tahun. Ia dinyatakan keluar dari KPA pada tahun 2016
dikarenakan masalah yang menimpanya yaitu tuduhan melakukan korupsi dana di
KPA. Tetapi perjuangan Arif dalam memerangi narkoba khususnya di Provinsi
Banten tidak berhenti sampai disitu.
Setelah
dinyatakan keluar dari KPA, Arif langsung diminta oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) Provinsi Banten untuk membantu di bagian rehabilitasi pengguna narkoba.
Ia menerima tawaran tersebut dan saat pertama bergabung, ia langsung ditugaskan
di Kota Cilegon.
Selama
menjadi pengguna hingga akhirnya menjadi pembasmi, Arif tidak pernah
menceritakan masa kelamnya dengan narkoba kepada keluarganya. Baru beberapa
tahun belakangan ini iya mengaku dan meceritakan semuanya kepada kakaknya. Dan
benar saja, kakaknya merasa terkejut, karena memang Arif selama ini dipandang
sebagai anak yang baik di keluarganya.
Pengalaman
Arif dengan narkoba selama ini memiliki beberpa fase. Dimulai dari tahap tidak
tahu, menjadi tahu. Setelah tahu, menjadi dekat dan akrab. Dan pada akhirnya
Arif memposisikan narkoba sebagai hal yang harus ia perangi.
Pernah
mengkonsumsi narkoba menimbulkan penyesalan pada diri Arif. Dampak dari narkoba
baru ia rasakan ketika usianya sudah menginjak angka 39 tahun. Ia menderita pengapuran
di bagian tulang belakangnya yang merupakan efek dari terlalu sering
mengkonsumsi ganja.
“Kalau dilihat dari pengalaman
saya, harapannya semoga remaja yang ada di Provinsi Banten khususnya sebaiknya
jangan coba-coba dengan yang namanya narkoba. Dan para remaja seharusnya
memiliki pengetahuan yang lebih akan dampak dan bahaya dari penyalahgunaan
narkoba. Karena apabila sudah addict maka
akan sulit untuk berkata tidak pada narkoba”
ujar Arif di penghujung ceritanya. (Gabriella)
Komentar
Posting Komentar