Langsung ke konten utama

Apatis, Pragmatis, & Marketing Politik Menelantarkan Indonesia



Seperti yang kita ketahui, saat ini Indonesia seperti sedang dilanda bencana besar-besaran. Masalah datang silih berganti, bersahut-sahutan layaknya petir saat badai. Indonesia sedang diuji, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut. Ya, Negeri kita tengah diuji entah oleh siapa.
Dari pernyataan tersebut, muncul beberapa pertanyaan. Benarkah Indonesia sedang diuji? Atau justru inilah jati diri tanah air kita? Jati diri bangsa kita? Atau mungkin inilah karakteristik yang sudah mendarah daging pada kita? Indonesia lekat dengan masalah. Lucu memang mendengarnya. Tetapi apakah pernyataan ini tetap lucu apabila benar-benar menjadi kenyataan ? Atau mungkin sudah terjadi, tetapi kitalah yang tidak menyadari.
Masalah yang terjadi di Indonesia bukan hanya menyerang satu bidang saja, tetapi sudah menyerang semua bidang dan aspek kehidupan saya rasa. Jika diibaratkan dengan penyakit, Indonesia sedang terjangkit virus HIV. Virus tersebut menyerang dan akhirnya menjadikan kumpulan penyakit yang sering kita sebut sebagai AIDS. Dan seperti kita ketahui, AIDS berujung kepada kematian. Akankah Indonesia mati layaknya penderita AIDS ? Entahlah.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “setiap orang yang menjalani kehidupan pasti akan merasakan cobaan dan masalah”. Seperti Indonesia saat ini, masalah menimpa bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan bahkan keamanan. Inilah kehidupan Indonesia. Dihantui dengan berjuta masalah. Apa yang harus kita lakukan ? Tentu saja mencari solusinya. Bukan hanya sekedar wacana dan teori, tetapi aksi dan tindakan yang dibutuhkan saat ini.
Sekarang yang menjadi pertanyaan lagi adalah, siapa yang bertanggung jawab menangani masalah-masalah ini? Pemerintahkah? Aparat keamanankah? Atau rakyat? Jawabannya hanya satu, yaitu KITA SEMUA. Karena Indonesia adalah KITA. Oleh karena itu, Indonesia adalah tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia. Kita harus sama-sama memikirkan solusi untuk penyelesaian masalah-masalah tersebut. Yang nantinya diseimbangkan dengan tindakan bersama.
Tetapi yang menjadi masalah disini adalah, tidak terjalinnya hubungan yang baik antara pemerintah dengan rakyat pada saat ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya rakyat ysng melakukan aksi kecaman terhadap pemerintah Indonesia sekarang. Pemerintahan yang belum genap satu tahun berjalan ini sedang dihujani kecaman dan protes dari rakyatnya sendiri. Bagaimana masalah Indonesia akan teratasi dengan baik, jika rakyat hanya bisa merongrong pemerintah untuk membenahi masalah, tanpa adanya bantuan yang konkrit? Bagaimana masalah Indonesia akan selesai jika pemerintah terus menerus berdiam diri dan menungu teriakkan dari rakyatnya? Dimana nilai gotong royong, musyawarah, dan persatuan kita?
Semua masalah pasti ada sebab dan akibatnya. Rakyat tidak respect terhadap pemerintahan saat ini karena mereka menganggap pemerintah yang sekarang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mulai dari tidak ditepatinya janji-janji, karakter yang berbeda dari apa yang ditunjukkan ketika pemilu, dan lain sebagainya. Rakyat seolah tertipu oleh topeng sang aktor politik tersebut.
Tetapi, apakah kita bisa hanya menyalahkan pemerintah saja? Saya rasa tidak. Tidak sesuainya pemerintah dan sistem pemerintahan yang ada bukan hanya berasal dari pemerintahanya saja. Tetapi berawal dari sikap apatis dan pragmatis rakyat Indonesia itu sendiri. Sikap ketidakpedulian rakyat Indonesia terhadap masa depan bangsa dan negaranya sendiri inilah yang menyebabkan timbulnya sikap pragmatis. Dimana pada saat pemilihan pemimpin negara, rakyat seharusnya memilih berdasarkan esensi yang dimiliki oleh masing-masing kandidat. Tetapi karena pragmatisme rakyat Indonesia mulai marak, yang terjadi adalah rakyat memilih berdasarkan apa yang mereka lihat pada saat masa-masa kampanye dan pemilu.
Melihat kondisi rakyat Indonesia yang pragmatis, maka para lembaga politik pun tidak lagi memikirkan esensi dan ideologi yang dimiliki oleh calon yang mereka ajukan. Tetapi mereka lebih fokus kepada bagaimana membentuk program-program dan janji-janji yang berujung kepada pencitraan terhadap calon tersebut. Hal tesebut mereka lakukan hanya semata-mata untuk strategi agar bisa mendapatkan suara dari rakyat. Padahal program-program dan janji yang ditawarkan belum tentu terlaksana pada masa pemerintahannya.
Promosi-promosi politik dilakukan dengan berbagai cara dan variasi. Salah satu yang menjadi trend saat ini adalah dengan memberikan bantuan kepada rakyat selama masa kampanye. Baik itu bantuan pendidikan, sandang, pangan, papan, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menarik minat rakyat yang mereka anggap sebagai konsumen. Dengan pola pikir masyarakat yang pragmatis, maka cara tersebutlah yang dianggap paling ampuh untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Praktik-praktik tersebut, disadari atau tidak merupakan suatu proses marketing politik.
Bukan hanya pada tingkat nasional saja marketing politik tersebut terjadi, tetapi juga pada tingkat Provinsi, Kota, Kabupaten, dan sebagainya. Seperti halnya di Banten. Sehubungan dengan diadakannya pilkada dibeberapa kota, maka para produsen politik berlomba-lomba untuk membentuk citra produk politiknya. Bantuan mulai berdatangan ke berbagai daerah di Banten. Spanduk, iklan, berita, program-program mulai diluncurkan guna membentuk citra sang produk politik agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Banten.
Kalau sudah seperti ini, bukan hanya internal parpol dan media saja yang berperan, tetapi juga akan melibatkan para golongan kapitalis yang ingin mencari keuntungan lewat jalur politik. Jika pilkada di Banten sudah menerapkan sistem seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di pemerintahan yang selanjutnya, pemerintah tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat Banten. Tetapi pemerintah lebih mementingkan kepentingan para golongan kapitalis.
Jika praktik tersebut sudah diterapkan, maka pemerintah baru yang lahir bukanlah pemimpin yang memiliki esensi dan ideologi yang sebenarnya. Melainkan pemimpin yang hanya bisa mengandalkan pencitraannya di depan rakyat. Maka wajar saja, jika pemerintah tidak bisa menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi. Serta tidak adanya hubungan yang baik antara rakyat dengan pemerintah. Karena sudah adanya kekecewaan rakyat terhadap pemerintah yang tidak sesuai dengan citra yang telah mereka bangun diawal.
Jika hubungan antara rakyat dan pemerintah tidak kunjung membaik, dan tidak ada yang berinisiatif untuk memperbaikinya, bagaimana masalah Indonesia akan terselesaikan? Karena masalah-masalah tersebut tidak akan terselesaikan jika tidak adanya kerjasama dari seluruh bangsa Indonesia. Jika ingin seperti ini terus, mengedepankan ego dan sikap apatis masing-masing, maka tinggal kita tunggu saja kehancuran dari tanah air kita tercinta, Indonesia.
Oleh karen itu, perlu adanya kesinambungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dimulai dari kebiasaan masyarakat yang terus-menerus hanya bisa menghujat pemerintah. Begitupun dengan pemetintahan yang ada, mulailah berhenti hany menangkis hujatn-hujatan masyarakat dengan memberi janji-janji belaka tanpa adanya tindakan. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bersatu untuk sama-sama membenahi Indonesia. (Gabriella)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYO, KENALI FISIP-MU !

Brotherhood !!! Bagi sebagian besar mahasiswa Untirta pasti tidak asing lagi dengan kata tersebut. Kata ‘brotherhood’ merupakan jargon atau kata kunci dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta. Fakultas yang baru berusia 12 tahun ini merupakan fakultas termuda di Untirta. Fakultas orange ini didirikan pada tahun ajaran 2002/2003 yang diresmikan dengan surat keputusan nomor   124/0/2004 sesuai dengan SOTK. Sebelum dijuluki sebagai ‘Fakultas Orange’, FISIP Untirta dikenal sebagai fakultas yang identik dengan warna biru yang menyerupai warna biru telur asin, yang lebih cenderung berwarna abu-abu. Mengapa demikian? Karena FISIP Untirta merupakan fakultas yang bernuansa politik dan warna abu-abu dianggap sebagai simbolisasi dari politik, maka tercetuslah warna tersebut sebagai identitas dari FISIP Untirta. Namun penetapan warna tersebut sebagai identitas dari fakultas termuda di Untirta ini tidak bertahan lama, hingga akhirnya diputuskan agar diganti dengan warna O

Menulis Sebagai Hobi

Setiap orang lahir dengan potensi dan kemampuan yang berbeda-beda dan tentunya masing-masing individu memiliki selera dan ketertarikan yang berbeda terhadap suatu hal. Bukanlah sesuatu yang perlu dijadikan perdebatan ketika seseorang menyukai sesuatu tetapi orang lain tidak sepaham dengan apa yang kita rasakan. Hobi, satu kata yang menggambarkan hal yang kita gemari, sukai, dan senangi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hobi adalah kegemaran atau kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Hobi juga sering dianggap sebagai kegiatan yang dapat menenangkan pikiran seseorang. Ada begitu banyak hobi yang ada di dunia ini. Semua kegiatan yang dapat kita lakukan bisa menjadi hobi kita. Mulai dari kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang sampai kegiatan yang paling aneh sekalipun. Diantaranya seperti menonton film, mendengarkan musik, berenang, bermain sepeda, menulis, dan sebagainya. Dari sekian banyaknya hobi yang ada, karena penulis merupak

Mengkroscek Sejarah Dari Kuncen Banten Girang

Setiap tempat dan daerah pasti memiliki sejarahnya masing-masing. Latar belakang, asal muasal, kultur masyarakat terdahulu merupakan hal-hal yang amat menarik untuk diulik dan dipelajari. Tetapi nyatanya, tidak semua sejarah yang kita baca di buku-buku pelajaran sekolah ataupun literatur lainnya merupakan fakta yang sebenarnya terjadi. Termasuk di tanah Jawara ini, khususnya di daerah Banten Girang. Memiliki sejarah panjang yang sedikit orang lain ketahui. Bahkan ada beberapa yang salah menafsirkan sejarah yang ada. Saya merasa beruntung sekali bertemu sosok seperti Abah Hasan. Beliau merupakan kuncen dari situs wisata Banten Girang. Sama seperti kuncen situs-situs wisata sejarah lainnya, Abah Hasan mendedikasikan hidupnya untuk menjaga situs Banten Girang tersebut. Abah Hasan mulai menjadi kuncen situs Banten Girang sejak ia masih berusia 12 tahun. Lelaki yang memiliki nama asli Abdu Hasan ini meneruskan profesi turun temurun dari kakek dan neneknya sebagai kuncen Banten Gi